“Butterfly”
PROLOG
Kupu-kupu.
Apa kau pernah
mendengar kata itu? Mungkin kau sering menemukannya di padang bunga yang luas,
atau kau melihatnya terbang mengitari bunga-bunga di halaman belakang rumahmu.
Intinya, ia identik dengan bunga. Makhluk indah yang diciptakan Tuhan ini,
adalah makhluk yang mengembalikan semangat jiwaku…
Flya
Anderson berjalan sambil mengendap-endap di tengah kegelapan. Tangannya yang
kurus meraba-raba dinding batu yang dingin dan lembap. Ia berjalan tanpa alas
di kakinya sehingga ia dapat merasakan betapa dinginnya lantai ruangan itu. Ia
berjalan dengan sangat hati-hati, menjaga setiap langkahnya agar tidak
menimbulkan suara.
“Hhhh…”
desah Flya. Bibirnya yang mungil mulai menggigil kedinginan. Dengan buru-buru
ia merapatkan kedua tangannya, lalu bersandar ke sebuah pintu kayu yang mulai
lapuk dimakan usia. DUK DUK DUK!! Tiba-tiba pintu lapuk itu bergetar dan dengan
sangat ketakutan Flya menyingkir menjauh. Tangan yang menggedor pintu itu
adalah tangan ayah tirinya, orang yang sama yang telah mengurungnya di gudang
yang sudah tidak terpakai ini. Orang yang sangat kejam yang merampas jiwa
Flya---orang yang tidak akan pernah membiarkan Flya hidup normal seperti anak-anak
lainnya.
“Flya!”
ujar ayah tirinya. Flya membungkam mulutnya dan bersembunyi di balik
kardus-kardus besar yang tidak terpakai lagi. Perlahan-lahan ia mulai terisak
dan menangis sesenggukan. “Flya! Kau mendengarku?!” raung ayahnya, kali ini
dengan suara yang lebih keras. “Iya…” Flya menjawab lemah dan tangisnya mulai
mereda. “Ada apa, ayah?”
Ayah
tirinya lalu membuka pintu lapuk itu. Di pintu itu, berdiri seorang laki-laki
tua yang rambutnya dipenuhi uban, dengan badan kurus mengering seperti rangka yang
hanya dibungkus kulit hitam-legam. Matanya cekung dan kesannya mengerikan---ia
sama sekali tidak mirip dengan Flya, anak tirinya.
“Ini.
Makanlah. Kau akan merasa lebih baik…” ia menyodorkan sepiring bubur dingin dan
segelas air putih sambil menyeringai. “Ini makananmu untuk tiga hari ke depan,
kau tahu kan? Kita tidak punya apa-apa lagi…” lalu ayahnya berbalik dan
beranjak pergi. “Tunggu!” Flya bangkit dari tempat persembunyiannya dan
mencegah ayahnya pergi. “Jika ayah mengizinkan, aku bisa mencari uang seperti
teman-temanku yang lainnya.”
“Tidak!
Kau tidak bisa! Kau tidak punya teman! Kau tidak boleh berteman dengan mereka!”
dengan tegas ayahnya menolak permintaan Flya. “Kau tidak boleh kemana-mana!”
lalu ia menutup dan mengunci pintu lapuk itu dan pergi lagi. Flya diam menunggu
keajaiban terjadi---seperti ayahnya akan kembali dan akan mengizinkannya keluar
dari tempat memuakkan ini. Namun yang terdengar diluar sana adalah suara
langkah-langkah kaki ayahnya yang terdengar menjauh.
* * *
BAB 1
Tangisan Sedih di Sudut Jalan
“Dulu ibumu menemukanmu di sudut
jalan sana…” bibi Neshi menunjuk kearah sudut jalan di dekat kios tempat ia
bekerja. “Kau menangis dengan sediiih sekali. Untunglah ibumu yang berhati
malaikat itu mendengar tangisanmu dan membawamu pergi dari situ. Ia
mengangkatmu menjadi anaknya.” jelasnya. Aku mengangguk-angguk mengerti. Sering
sekali---semenjak kematian ibu, bibi Neshi menceritakan masa laluku disini---di
bawah pohon apel di taman kota. Alasannya karena dari taman ini, sudut kios
tempat ibu kandungku dulu membuangku terlihat dengan jelas. Bibi Neshi tidak
akan pernah puas bercerita sampai aku menganguk-angguk mengerti.
Bibi Neshi adalah satu-satunya
sahabat baik ibuku. Ibuku sudah
menganggap bibi Neshi sebagai kakaknya sendiri karena bibi Neshi lebih tua dua
tahun darinya. Dua bulan lalu, ibuku meninggal di dekat kios itu---kios
tempatnya dan bibi Neshi bekerja. Kios tempat ia menemukanku dulu dengan
tangisan sedihku yang hanya terdengar olehnya. Ia tewas ditabrak truk besar
yang kata bibi Neshi mengangkut berton-ton minyak. Yang terbayang di benakku
saat itu adalah ibu meninggal dalam keadaan yang mengerikan.
“Hey, Nak.” Ujar bibi Neshi
membuyarkan lamunanku. “Semua baik-baik saja?” sambungnya. “Oh, ya. Jangan
khawatir bibi Neshi. Aku… baik-baik saja,” ujarku enteng. Bibi Neshi tersenyum
ramah dan menyodorkan beberapa potong roti padaku. “Kau pasti lapar…” tebaknya.
Aku tertawa kecil dan mengangguk mengiyakan. Lalu dengan lahap memakan roti
pemberian bibi Neshi.
“Oh tidak! Aku terlambat dua menit…”
bibi Neshi beranjak dari bangku taman dan berlari meninggalkanku. Tetapi ia
segera kembali dan dengan napas yang terengah-engah memberiku beberapa lembar
uangnya. “Ambillah…” bibi Neshi memasukkan uang itu ke saku bajuku. Aku
berusaha menolaknya dengan menggeleng-geleng pelan. Namun bibi Neshi hanya
tersenyum dan memelukku. “Hanya itu yang dapat kuberikan padamu. Anggaplah aku
ibu penggantimu. Aku tahu ayah tirimu yang jahat itu sangat jarang memberimu
makan…” bibi Neshi memotong kata-katanya. “Ups, aku menjelek-jelekkannya lagi.
Sampai jumpa, Flya! Kalau kau membutuhkanku, datanglah ke kios itu…” bibi Neshi
berlari secepat kakinya bisa membawanya. Aku hanya terkikik geli melihat
tingkahnya dan kembali memakan potongan rotiku.
Setelah
selesai dengan rotiku, aku kembali melamun dan memikirkan ibu. Sebenarnya…
Siapa ibuku? Bibi Neshi bilang, mungkin ibuku yang sebenarnya tidak sanggup
membesarkanku. Makanya ia membuangku dan melupakanku. Sedangkan ibuku, ibu yang
memungutku dan merawatku sampai berumur dua belas tahun ini, sudah tiada. Ia
meninggal dua bulan yang lalu. Selama ini, hanya dia satu-satunya wanita yang
kuanggap ibuku. Walaupun ia hanya ibu angkatku, tetapi dialah yang mengenalkan
dunia ini padaku.
Ah,
sudahlah. Kepalaku masih terlalu muda untuk memikirkan beban hidup ini. Yang
terpenting sekarang adalah aku menjalani kehidupanku walaupun tidak ada lagi
ibu disampingku.
Ayah sudah menungguku
dirumah dan aku harus memberinya uang yang diberi bibi Neshi tadi. Uang ini satu-satunya
hal yang paling ayah tunggu-tunggu dariku. Sekarang aku harus pulang. Aku
berjalan meninggalkan taman sambil bersenandung kecil dengan senang, aku
bersyukur pada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk mencicipi kehidupan
yang penuh rasa ini. Sampai akhirnya musibah yang tidak kuduga itu datang dan
merusak hidupku.
Bersambung